Sedetik yang lalu “Entah mengapa aku begitu benci terhadap
waktu yang berdetak sangat lama. Aku ingin melewati semua fase ini dengan
cepat. Tapi hanya satu waktu aku ingin untuk mereka terhenti, saat bersamamu”
Dan sedetik setelahnya, kamu mengirim pesan untuk berhenti
saling melempar pesan singkat karena sedang bersama kawanmu, dan takut suasana
membawamu dalam kalimat yang kejam, itu katamu. Walaupun aku sama sekali tidak
mengerti maksud kejam itu. Tapi, kalimat bait terakhir yang bermula ‘entah’ itu
sungguh manis. Iya, kamu seperti gula.
Kita wajar, setidaknya karena saling menanyakan “sudah makan
kamu ?”, sesuatu yang menurutku buang-buang tenaga untuk menanyakannya. Tapi
tak apa, itu manis. Aku mau disuap, bolehkan kita bergantian untuk saat ini
saja. Kamu harus membuatkanku bekal, menyuapiku. Aku merajuk, aku rindu. Masih wajar, selebihnya biasa saja. Kita
bahkan tidak merayakan apa yang di sebut dengan valentine itu, tidak saling
mengingat tanggal jadian. Hal yang hebat adalah, saat menghabiskan waktu
bersamamu itu hebat.
Aku bilang maaf, karena aku rindu. Kamu bilang itu
mengesalkan tapi katamu kamu menyukainya. Kamu bilang aku fireworks. Aku ingat
terakhir kali aku menyukai fireworks, itu malam lebaran. Dimana air di sudut
mata mengalir deras mengingat kakak laki-lakiku terbujur kaku. Dan besok dia
menyatu dengan tanah. Aku pernah menyukai fireworks. Tapi dulu. Apakah kamu
pernah menyukai fireworks juga ? aku bahkan tidak mengerti kenapa aku mesti
menjadi fireworks,katamu.
Selamat malam sarapan, aku tidak perlu berlama-lama.
Bunyikan bel itu aku akan berkicau, semoga harimu menyenangkan selamat gelap
rindu. Aku rindu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar