Selepas cuci piring tadi, aku tersadar. Asal tahu saja,
hatiku sedang tidak karuan. Mereka berteriak, kamu salah orang. Berulang-ulang
kali. Kenapa hati berteriak, sedangkan mereka tidak punya mulut bahkan telinga.
Aku tersadar, kenapa aku begitu tidak nyaman dengan hati ini. Aku mencoba
bertanda plus lagi di kepalaku. Oh, mungkin karena hati ini baru saja terpoles
lagi. Mungkin karena perlu beradaptasi. Mungkin karena bersama hati yang baru.
Atau mungkin karena aku belum memahaminya. Selalu begitu setiap kali hati
meronta untuk dijamah.
Sebelumnya aku bersama seseorang lainnya untuk waktu yang
lama. Tidak lebih dari 3 musim penghujan. Aku memutuskan untuk berhenti
mejalaninya. Kita selalu saling berteriak di telfon. Selalu merasa ada saja
yang membuat tidak nyaman. Long distance relationship namanya. Tapi hal itu
bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. Bahkan ketika kita dalam satu langit
yang sama. Seperti saat ini. Mungkin aku belum paham. Aku mencoba lagi, seperti
biasanya. Dan seperti biasanya, hati ini memang hobi meronta. Dia tidak
menghangat lagi.
Aku memutuskan iya. Karena sebelumnya lagi, aku sempat
mengenal seseorang. Iya, seseorang. Yang menurut hati ini hampir sempurna untuk
mengumbar senyum. Mungkin sangat sempurna, tidak lebih dari satu kalender. Dia
memberikan senyum dan dunia tiap hari. Memberi materi di otak sehingga yang
tersisa benar-benar tanda plus. Tapi lagi, dia telah bercincin. Aku tidak
menangis di awal, memendammnya seolah-olah itu lebih ringan dari mengangkat
beban seratus kilo. Ternyata sangat lebih berat dari itu. Aku menangis, dan
orang yang bersamaku sekarang bersedia mengulurkan tangannya waktu itu.
Membantuku menghapus air mata.
Semuanya hampir terlambat sekarang. Dia bahkan entah
bagaimana ? aku ingin pesan singkat itu berbunyi di telefon genggamku, bertanya
tentang runtuhku. Tapi, terimalah. Terlalu banyak plus kemudian kecewa. Oh iya,
dirangkum menjadi. Sepi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar